PP penyiaran dan demokratisasi

TERBITNYA Terbitnya empat Peraturan Pemerintah (PP) tentang penyiaran yaitu, PP No. 49 tahun 2005 tentang pedoman kegiatan peliputan lembaga penyiaran asing, PP No. 50 tahun 2005 tentang penyelenggaraan penyiaran lembaga penyiaran swasta, PP No. 51 tahun 2005 tentang penyelenggaraan penyiaran lembaga penyiaran komunitas, dan PP No. 52 tahun 2005 tentang penyelenggaraan penyiaran lembaga penyiaran berlangganan mengundang protes dari masyarakat. Para pakar komunikasi menyampaikan protesnya secara terbuka kepada pemerintah (Kompas, 2 Desember 2005). Elemen civil society seperti Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) pun melakukan hal yang sama (Kompas, 5 Desember 2005), bahkan akan melakukan uji materi (judicial review) atas PP ini ke Mahkamah Agung.

Keberatan publik terhadap keberadaan PP ini dapat dipahami mengingat isi PP ini mengabaikan prinsip demokratisasi penyiaran dan ada potensi mengembalikan kontrol pemerintah atas media. Indonesia yang tengah memantapkan diri menjadi sebuah negara demokratis dengan memberikan kesempatan pada publik untuk terlibat dalam pengelolaan urusan yang menjadi hak publik seakan melangkah mundur dari semangat awalnya bila mencermati isi PP penyiaran ini. Pasalnya, banyak pasal-pasal dalam PP penyiaran itu yang bertentangan dengan isi dan jiwa Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran. Padahal, jiwa dan semangat kebatinan yang menjadi landasan lahirnya Undang-Undang Penyiaran ini adalah kuatnya keinginan mewujudkan peran civil society sebagai pilar negara, di mana peran pemerintah dalam hal penyiaran menjadi tiada dan kewenangan itu dilimpahkan negara kepada masyarakat, dalam konteks ini peran pemerintah di bidang penyiaran dilimpahkan kepada sebuah badan regulator yang bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), yang anggotanya terdiri atas unsur masyarakat.

Pemerintah karena kesalahan di masa lalu dianggap oleh masyarakat tidak layak menjadi regulator penyiaran. Tafsir kebenaran yang berlaku di dunia penyiaran tidak lagi ditentukan oleh pemerintah, melainkan oleh masyarakat. Hal ini semakin nyata diungkapkan oleh salah seorang anggota Komisi I DPR RI, Effendi Choiri, pada saat KPI Pusat dan KPI Daerah se-Indonesia melakukan rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR RI pada tanggal 30 November 2005. Effendi menyatakan bahwa pada saat undang-undang No. 32 Tahun 2002 ini dibuat semangat yang melandasinya adalah semangat demokratisasi dan upaya pelibatan partisipasi publik dalam pengelolaan dunia penyiaran, hal itu wujudnya adalah dengan menjadikan KPI sebagai regulator tunggal dalam bidang penyiaran, termasuk memberi izin penyelenggaraan penyiaran. Jadi tidak ada tafsir lain atas Undang-Undang ini yang memberikan kewenangan mengurusi penyiaran kepada pihak lain selain KPI. Dengan terbitnya PP penyiaran ini yang menempatkan pemerintah sebagai pemberi izin penyelenggaraan penyiaran jelas hal itu merupakan tindakan yang mengingkari semangat demokratisasi dan reformasi yang dikandung undang-undang ini.

Abaikan kepentingan Daerah

PP penyiaran ini juga mengabaikan kepentingan daerah, semangat undang-Undang ini adalah adanya keinginan mewujudkan diversity of ownership dan diversity of content. Dalam hal diversity of ownership, dengan hadirnya undang-undang ini masyarakat di daerah memiliki kesempatan memiliki lembaga penyiaran (radio dan televisi), contoh nyatanya adalah adanya kesempatan mendirikan stasiun televisi lokal yang berorientasi lokal kedaerahan, guna mengimbangi hegemonisasi siaran televisi Jakarta yang kental dengan unsur seks, darah, dan mistik.

Semangat luhur undang-undang itu ternyata tercederai oleh PP penyiaran ini, di mana televisi yang berlokasi di Jakarta bisa menyebarluaskan siarannya ke semua daerah di Indonesia dengan cukup membangun induk stasiun jaringannya di ibu kota provinsi, tidak sampai membangun ke semua kabupaten/kota (lihat pasal 36 PP No. 50 Tahun 2005). Bila telah membangun induk stasiun televisi di provinsi, maka televisi yang ada di Jakarta dapat memancarluaskan siarannya ke wilayah kabupaten/kota di sebuah provinsi lewat sistem relay. Frekuensi yang ada di kabupaten/kota, khususnya frekuensi televisi pada akhirnya tidak lagi dimanfaatkan oleh orang-orang yang ada di daerah, dan hanya akan dimanfaatkan oleh para pemilik lembaga penyiaran yang ada di Jakarta. Pertanyaan selanjutnya dengan melihat kenyataan demikian apakah PP ini memihak kepentingan daerah (kabupaten/kota) ataukah hanya menjadi penyalur hasrat kepentingan pelaku bisnis di Jakarta. Lantas di mana letak keadilan bagi masyarakat daerah?

Dalam hal diversity of content, dengan tumbuhnya televisi-televisi lokal di daerah, harapannya adalah televisi menjadi lebih dekat dengan kebutuhan pemirsanya, dan adanya penyeimbang atas derasnya siaran Jakarta yang jauh dari akar dan tradisi kebudayaan daerah, serta potensi-potensi lokal yang ada di daerah menjadi tersalurkan, sebagai contoh; banyaknya para pekerja seni dan rumah produksi yang tidak mampu menembus Jakarta dengan hadirnya televisi lokal berarti membuka kesempatan bagi mereka. Ini merupakan wujud konkret kepedulian terhadap daerah. Akan tetapi, hal itu menjadi sulit terealisasi karena PP penyiaran ini telah menempatkan televisi Jakarta sebagai pemilik sebagian besar frekuensi di ranah penyiaran.

Kerugian publik

PP ini selain mengabaikan kepentingan daerah juga merugikan publik mengapa demikian? dalam konteks perizinan PP ini memberikan keistimewaan pada lembaga penyiaran yang telah mendapatkan izin siaran radio dari Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi dan/atau izin siaran nasional untuk televisi dari Departemen Penerangan di masa lalu. Lembaga penyiaran tersebut sebelum ditetapkannya PP ini diakui keberadaannya dan izinnya akan disesuaikan menjadi izin penyelenggaraan penyiaran oleh menteri. Mereka tidak perlu menempuh proses perizinan sebagaimana yang diminta Undang-Undang No. 32 tentang penyiaran sebagaimana yang tercantum dalam pasal 33. (lihat Pasal 71 PP No. 50 tahun 2005), ini merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Penyiaran. Padahal, benarkah lembaga penyiaran di masa lalu telah menjalankan fungsinya dengan baik, telah menjadi industri yang sehat dan mampu memenuhi harapan publik. Oleh karena itu, di saat mereka diminta menempuh perizinan baru, maknanya adalah keberadaan mereka harus dievaluasi. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa KPI mendapatkan ada lembaga penyiaran yang mendapat izin di masa lalu ternyata lembaga penyiarannya tidak bersiaran dan ada pula lembaga penyiaran pemegang izin di masa lalu ternyata karyawannya di gaji di bawah standar gaji yang diatur peraturan perundangan yang berlaku. Jadi di saat pemerintah memberikan pengistimewaan, hal itu tidak memiliki basis rasionalitas yang jelas.

Keistimewaan di atas tidak berlaku bagi lembaga penyiaran yang mendapatkan izin dari pemerintah daerah. Izin-izin yang diterbitkan gubernur dengan adanya PP ini menjadi tidak berlaku. Dalam konteks ini terjadi tindakan diskriminatif terhadap publik. Mengapa akibat tidak ajegnya sistem penyiaran di masa lalu lantas publik menjadi korban. Padahal, bukan salah masyarakat yang memproses perizinan penyiaran di masa lalu ke pemerintah daerah karena memang masyarakat pada masa itu membutuhkan kepastian hukum dan taat regulasi di saat ingin berusaha. Faktanya, yang membuka loket perizinan penyiaran pada saat belum adanya Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran adalah pemerintah daerah, dengan mengacu pada Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan PP No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom. Dengan menyatakan bahwa lembaga penyiaran yang resmi yang harus mendapat perlakuan “khusus” adalah yang di masa lalu mendapat izin dari pemerintah pusat merupakan sebuah keangkuhan pusat atas daerah.

Undang-Undang Penyiaran dalam konteks perizinan penyiaran merupakan undang-undang yang menempatkan publik sebagai pihak yang harus diperjuangkan hak-haknya, hal ini tercermin dengan tidak adanya pemihakan terhadap lembaga penyiaran, baik yang mendapatkan izin dari pemerintah pusat ataukah mendapat izin dari pemerintah daerah. Oleh u ndang- undang ini semua dianggap sama, semua lembaga penyiaran diminta menyesuaikan dengan ketentuan undang-undang (lihat pasal 60 Undang-Undang No. 32 tentang Penyiaran) dan diminta mengikuti proses perizinan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 33 Undang-Undang No. 32 tentang penyiaran. Sayangnya spirit dan ruh keadilan yang diembuskan undang-undang ini ditikam oleh “anak kandungnya” sendiri yaitu PP penyiaran ini.

Melihat kenyataan hari ini yang terjadi, sikap penolakan oleh KPI Pusat dan KPI Daerah se-Indonesia adalah sejalan dengan apa yang dipinta masyarakat, KPI sebagai wakil masyarakat akan bersikap tegas bila terdapat ancaman terhadap demokratisasi penyiaran dan supremasi publik. ***

Edisi Cetak: Harian Pikiran Rakyat, Sabtu 10 Desember 2005

Tinggalkan komentar

Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui surel.