PROFESIONALISME

Untuk mencapai profesionalisme siaran, penyiar harus memperhatikan hal-hal yang dapat mendukung meningkatnya prestasi, diantaranya adalah :
1. Mampu menciptakan hal-hal kreatif yang unik.
2. Siap dengan konsep.
3. Suka membaca.
4. Senang dan pandai bergaul.
5. Selalu ingin tahu (dan tidak sok tahu).
6. Tahu akan resiko dan berani bertanggung jawab.
7. Memiliki sikap cooperative.
8. Kebiasaan melakukan latihan terutama dalam menyusun radio script (naskah siaran).
9. Sportivitas yang tinggi.
10. Tidak cepat putus asa (teruatama dalam menghadapi pekerjaan).
11. Sikap keterbukaan.
12. Mampu menyatakan harga untuk prestasinya.
13. Memiliki rasa humor.
14. Disiplin waktu.

15. Membiasakan diri pola “DEPITA ALAPRA” – Dengar, Pikir, Tanya, Analisa, Latihan, dan Praktek.

Menghindari Kekeliruan
Beberapa hal yang boleh dianggap tabu oleh penyiar, antara lain :
1. Salah mengucapkan.
2. Tidak menggurui.
3. Tidak ada ekspresi.
4. Salah penggunaan kata.
5. Membosankan (berulang-ulang).
6. Klise.
7. Menunjukkan kekurangan diri.
8. Tidak jelas maksudnya (tata kalimat dan kosa kata).
9. Tidak jelas bunyinya.
10. Miskin perbendaharaan kata.
11. Melanggar etika (= ekstrim).
12. Menimbulkan miss-interpretasi (= kesan buruk).
13. Tabu (= sara).
14. Menyinggung perasaan (salah satu pihak atau golongan).
15. Melebih-lebihkan atau mengurang-ngurangi.

Fungsi Penyiar
Berikut ini uraian tentang bagaimana seorang penyiar bertugas melakukan kewajibannya menghadapi acara yang berbeda karakter dan cara penjiwaannya karena berbeda jenis tugasnya.

1. Sebagai Continuity Announcer (Penyiar Kesinambungan)
Tugas ini biasanya dianggap sebagai satu-satunya tugas seorang penyiar radio. Seandainya memang “hanya” satu hal ini yang merupakan tugas satu-satunya, maka tanggung jawab seorang penyiar radio dalam melaksanakan tugas ini harus merupakan tempat pencurahan kemampuan yang menampung kebolehan kreativitas dan ide secara habis-habisan. Karena ini adalah tugas satu-satunya.
Seorang penyiar kesinambungan bertugas menyambung acara satu ke acara lain dengan mulus. Karena tugasnya itulah seorang penyiar radio harus mampu dan mahir mengolah kalimat, memiliki kata secara tepat, baik dan benar. Tujuannya adalah agar pendengar tertarik pada acara yang akan dihidangkan.
Karena senjata penyiar radio adalah suara, pengolahan kalimat, kata-kata, pemilihan kata-katanya harus di dukung juga oleh kualitas suara yang menawan. Untuk penyiar radio, meskipun saya tidak beranggapan mutlak harus mempunyai suara bariton untuk pria atau alto bagi penyiar wanita, nampaknya kesan inilah yang masih tetap merupakan tuntutan masyarakat sampai saat ini. Sebab suara bariton atau alto seorang penyiar radio bisa memberikan suasana khusuk, damai dan menyakinkan. Meskipun pada saat-saat tertentu, misalnya dalam mengasuh sebuah acara yang lincah volume suaranya pun harus menjadi tinggi dan lincah, namun sebagai pilihan dasar suara besar menjadi dasar pilihan.
Seorang penyiar memang harus pandai memanfaatkan suaranya secara tepat. Suara yang besar dan mantap adalah modal seorang penyiar dalam membawakan acara yang serius atau khidmat. Sebaliknya untuk membawakan acara gembira, lincah, ceria seorang penyiar harus mampu mengubah volume rendahnya itu menjadi lebih tinggi dan harus tetap wajar. Hal ini masih harus di dukung oleh ketepatan irama, intonasi, dan kecepatan bicara sang penyiar.
2. Sebagai Pembaca Berita
Penyiar radio dengan persyaratan tertentu juga ditugaskan membaca berita. Sebagai seorang pembaca berita, ia harus dapat memberikan tekanan-tekanan secara tepat dan kuat pada kata-kata dan kalimat-kalimat dalam berita dengan frase dan tarikan nafas yang tepat pula. Penyiar berita yang tersengal, memotong kalimat seenaknya, atau memberikan tekanan kata sekenanya akan merusak isi berita yang dibawakan.
Bagi seorang penyiar berita, mengandalkan kekuatan vocal merupakan hal yang utama, karena:
a. Berita di susun oleh orang lain, dalam hal ini redaktur siaran berita. Dengan demikian ia membacakan karya tulis hasil pemikiran orang lain.
b. Berita yang membawakan tidak didukung dengan visualisasi berita.
Secara keseluruhan berita radio akan menarik bila cara pengolahan bahan berita menjadi berita dan kemampuan pembacanya menyakinkan. Di sini penyiar berita dituntut mampu menghayati setiap kata dengan sepenuh kemampuannya. Karena itu seorang penyiar harus memahami dan menghayati isi semua berita yang akan disampaikan kepada pendengarnya. Pembaca berita akan membuat kesalahan besar apabila dalam menyampaikan/membacakan berita melakukan kesalahan tafsir sehingga berita yang dibaca menjadi berbeda makna dengan apa yang seharusnya. Dengan demikian berarti ia menjadi sumber misinformasi masyarakat atas suatu berita, padahal seharusnya ia menjadi penyampai berita yang baik dan akurat. Karena itu sebelum membaca berita, ia harus melakukan persiapan matang baik persiapan mental maupun fisik. Ia harus teliti, cermat cekatan.

3. Sebagai Reporter
Tugas utama seorang reporter adalah melaporkan suatu kejadian atau peristiwa kepada pendengar secara objektif. Karena reporter radio dalam menghadapi audience-nya tidak didukung secara visual, ia harus mampu memberikan informasi lengkap sehingga pendengar merasa seolah-olah berada di tengah-tengah kejadian atau peristiwa yang dilaporkan oleh reporter itu. Tugas ini jelas bukan tugas gampang. Karena membangkitkan imajinasi pendengar memang bukang pekerjaan mudah.
Karena itu, untuk menjadi seorang reporter diperlukan syarat-syarat:
a. Mahir memilih dan menyusun kalimat dengan baik.
b. Mahir membangkitkan imajinasi penonton dengan kata-kata dan kalimat.
c. Mahir mengekspresikan situasi dengan kata-kata dan memberikan aksentuasi secara tepat pada bagian-bagian yang dirasa penting.

Contoh: Seorang penyiar/reporter radio akan melaporkan upacara peringatan HUT Kemerdekaan RI. Terlebih dulu ia harus membuat rencana hal-hal yang akan ia laporkan. Misalnya untuk membuka laporannya ia akan:
– Melaporkan saat itu berada di mana.
– Keberadaannya di tempat itu untuk melaporkan apa.
– Cuaca saat itu bagaimana: matahari, langit, angin bertiup bagaimana.

Komentar : Laporan liputan peristiwa Pemilu melalui siaran radio di tuntut jujur, jelas, informatif, detail. Karena itu, sebelum melakukan tugas, seorang reporter radio terlebih dahulu harus membekali dirinya dengan:
1. Pengetahuan yang luas tentang peristiwa yang tengah dilaporkan, baik menyangkut materi maupun latar belakang peristiwanya.
2. Mahir menyusun kalimat dalam bahasa yang sederhana/komunikatif, karena masyarakat pendengarnya bersifat heterogen.
3. Mampu secara detail menjelaskan peristiwa melalui kata-kata karena tiadanya visualisasi sebagai pendukung laporannya.
4. Menjadikan penonton semakin tambah wawasannya dengan memperoleh informasi yang jelas tentang sesuatu yang sudah diketahui atau belum diketahui.
5. Mempedulikan pendengar.
– Ia berdiri di lokasi mana. Bagaimana keadaan sekitarnya.
– Berapa jumlah orang yang hadir saat itu.
– Tokoh siapa saja yang hadir.
– Kostum mereka yang hadir.
– Bagaimana susunan acara.
– Siapa saja yang akan melakukan tugas membaca naskah proklamasi, UUD 1945.
Yang selalu diingat seorang reporter ialah dalam melakukan laporan kejadian kepada pendengar ia harus senantiasa berpedoman pada 5 W + 1 H: Where, When, Who, Why, Whom, How.
Di mana, kapan, siapa, mengapa, kepada siapa, bagaimana. Seorang reporter yang bertanggung jawab akan selalu memperhatikan dampak sosial politis yang bisa timbul dalam masyarakat akibat dari laporannya. Segi sekuriti, keamanan, keselamatan harus menjadi perioritas pertimbangan laporanna. Maka objektivitas yang ia tampilkan adalah objektivitas yang bertanggung jawab terhadap ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan masyarakat.

4. Sebagai Narator
Sebagai narator relatif tidak sulit. Ia hanya membacakan atau barangkali juga sekaligus menyusun naskahnya. Narasi adalah sebuah naskah yang memuat kalimat panjang atau esai yang menceritakan tentang sesuatu.
Dalam siaran radio, suatu narasi biasanya ditopang dengan suara musik, baik musik modern maupun tradisional (diatonis atau pentatonis) yang dipilih sesuai dengan situasi yang sedang digambarkan. Misalnya: memperingati hari Pahlawan 10 November disusun lagu-lagu dan hymne itu bila hanya disiarkan begitu saja tidak akan banyak memberi dukungan suasana. Maka diperlukan narasi yang mengisahkan tentang suatu peristiwa yang terjadi pada tanggal 10 November 1945. Kehadiran narasi seolah-olah jalin menjalin, saling menyusup antara musik dan kata-kata.
Kemampuan menyusun naskah narasi yang diimbangi dengan penghayatan produksinya akan menjadikan acara itu menawan. Kalau narator hanya membacakan naskah orang lain, yang paling utama dilakukan adalah menjiwai naskah yang disodorkan untuk dibaca. Dengan demikian jalinan kalimat dan musik menjadi harmonis. Untuk hal-hal seperti ini, bisa saja hadir seorang sutradara yang memimpin produksi acara ini. Bila naskah narasi itu disusun sendiri, maka narasi itu harus dipersiapkan dengan baik. Penyiar harus paham latar belakang peristiwanya, tujuan diadakannya peringatan, situasi dan kondisi saat acara ini disiarkan.

5. Sebagai Interviewer
Tugas interviewer adalah menanyakan sesuatu untuk kepentingan pendengarnya. Itulah sebabnya sebelum memulai wawancara, ia perlu menjelaskan terlebih dahulu: dimana pewawancara berada, untuk maksud apa ia berada di tempat itu, bagaimana keadaan lokasi. Selain itu, ia akan melakukan wawancara dengan siap; namanya, jabatannya, atau kedudukannya.
Interviewer sebaiknya tidak melontarkan pertanyaan lebih dari satu pertanyaan setiap kali bertanya. Karena di khawatirkan di penjawab tidak ingat terhadap pertanyaan kedua setelah jawaban pertama disampaikan.
Pewawancara harus berusaha sedikit mungkin berbicara dibanding dengan yang diwawancari. Pada saat wawancara dilaksanakan, pewawancara tidak boleh mendominasi.
Pertanyaan harus disusun dengan baik, artinya kronologis, jangan menanyakan hal-hal yang sudah diketahui jawabannya, melontarkan pertanyaan dengan kalimat jelas sehingga tidak menimbulkan jawaban mendua, menyampaikan tanpa ragu-ragu dan harus dipertimbangkan dengan matang sebelum pertanyaan dilontarkan.
Wawancara tidak boleh menyinggung martabat yang diwawancarai maupun orang lain. Etika bertanya haruslah selalu diperhatikan.
Kedudukannya pewawancara pada dasarnya sederajat dengan yang diwawancara. Ia tidak lebih tinggi tetapi juga tidak lebih rendah. Hal ini berarti bahwa seorang pewawancara tidak boleh menganggap atau mendudukkan yang diwawancarai secara berlebihan. Sebaliknya ia tidak boleh berlagak “memerintah” orang lain untuk menjawab pertanyaannya meskin yang diwawancarai adalah tukang sapu jalan. Yang selalu perlu dipegang ialah sopan santun bertanya dan etika pertanyaannya. Dan penting untuk diingat, seorang pewawancara tidak melakukan tugas “interogasi”, tetapi bertugas mewawancarai. Interogasi adalah upaya menggali informasi untuk kepentingan yang bersifat sosial (budaya-kemasyarakatan).

6. Komentator
Komentator adalah penyiar yang bertugas memberikan komentar. Komentar atas sesuatu yang sudah, tengah, atau akan terjadi. Pada dasarnya seorang komentator akan menyampaikan pendapat pribadi atau kelompok yang ia wakili. Tetapi kemungkinan menonjolnya subjektivitas akan lebih nampak. Dalam memberi komentar terhadap sesuatu ia akan terikat pada etika pers yang berlaku. Meskipun kecenderungan subjektif itu ada, harus dijaga sebaik-baiknya agar seorang komentator berdiri di tengah dan obyektif. Untuk itu seorang komentator memerlukan referensi lengkap atas sesuatu yang akan dikomentari. Acara tinju, sepak bola, balap sepeda dan lain-lain yang perlu diberi komentar, pandangan atau pendapat harus berpijak pada upaya memberi informasi kepada masyarakat secara jelas dan lengkap.
Tidaklah mudah menjadi komentator. Wawasan harus luas, setidaknya pada bidang yang ia komentari. Memperhitungkan dampak atas komentarnya yang bisa berpengaruh positif tetapi juga mungkin negatif. Menyodorkan jalan keluar dan pemikiran-pemikiran baru yang menuju pada prospek yang lebih baik.
Menjadi komentator jangan berpedoman “asal banyak bicara”. Yang diperlukan oleh pendengar dari seorang komentator adalah komentarnya yang padat dan berisi. Bagi penonton, seorang komentator bukanlah satu-satunya sumber informasi sehingga segalanya dilakukan seorang diri. Ia dapat meminta secara langsung pendapat, pikiran, perkiraan dari orang lain yang ada di sekitarnya, yang diperkirakan dapat dijadikan pelengkap komentarnya.
Sudah tentu untuk mendukung bobot informasi langsung dari anggota masyarakat ia harus memilih orang yang memang mampu berkomentar. Bila dirasa perlu, komentator menyerahkan kesempatan kepada rekan kerjanya untuk melakukan interview kepada tokoh lain yang ada di sekitar lokasi tugasnya itu. Dengan demikian warna komentar akan menjadi beragam. Meskipun demikian titik berat kualitas komentar harus berada pada komentator itu sendiri.
Komentar : Di tengah laporan yang sedang dikerjakan, reporter memberi ilustrasi dengan melakukan wawancara untuk memberikan gambaran situasi orisinal dan kesan dari salah seorang anggota masyarakat atas peristiwa yang sedang dilaporkan. Dalam contoh ini Kana Sukarna sebagai reporter radio sekaligus melakukan fungsi sebagai pewawancara siaran radio. Hal ini dapat juga dilakukan dengan cara lain, yakni dengan membagi tugas ganda itu. Reporter radio melakukan laporan yang bersifat umum tentang peristiwa yang terjadi, sedang wawancara dilakukan oleh orang lain. Dalam kasus ini sesungguhnya dua atau lebih jenis tugas penyiar dapat diterapkan dalam satu peristiwa yang sama, misalnya: reporter, pewawancara, komentator mengerjakan sebuah paket yang sama tentang profil pemilihan umum.

Tinggalkan komentar

Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui surel.